SYAIR SENDU SANG PERINDU
April 27, 2020mengikhlaskan terkadang pilihan yang tepat |
“Tidaklah mungkin bagi matahari mendapat bulan,
Dan malam pun tidak dapat mendahului siang.
Dan masing-masing beredar pada garis edarnya. “
(Q.S. Yasin : 40)
Jikalau
Penyair : Aulia Rahma
Tambusai
Jikalau habis waktu ku
Tak lagi berhak jemari berceloteh ria tentang mu
Hentikan senandung cinta di langit malam
Enggan pula rembulan menjamu rindu
Runtuhlah langit biru
menanti
Segera kelabu menaungi
Berhenti langkah berlari,
diri dipaksa menepi
Jikalau daku merindu, rasa membelenggu, intuisi merayu
Kenyataan merajam, ku pikir terlalu kejam
Jikalau hati kambuh akan candu
Maka, Tuhan berdosalah daku
Aku mengadu, mengharap
kamu yang dulu
Mungkin, langkahku telah
sejajar denganmu
Tawa dan tatapku sejalan
denganmu
Jikalau,,, Mungkin ku kini berlari di depanmu
Dengan tawa lepas kamu berlari ke arahku
Takkan ragu diri bermanja dengan sukmamu
Nyatanya ku tersekat, terjerat, terperangkap dan tengah sekarat
Jikalau aku tak ragu dan kamu tak dungu, akan lebih kuhargai takdir kita
2/3 Lustrum
Penyair : Aulia Rahma
Tambusai
Saya kembali dengan rasa yang tak lagi sama.
Atmosfer ini merenggut keceriaan saya sesaat.
Mata memanas, dada sesak, oksigen defisit.
Saya benar-benar tercekik.
Mengapa luahan rasa sedalam lambung/
Pahit pekat seempedu/
Mencabik kerongkongan mengoyak pankreas/
Melepuh sudah perasaan saya//
Sedang yang lain dungu, pun saya bisu
Lalu apa berharap Tuhan berbisik padamu, hadiahkan temu untuk
saya?
Alam pun tuli, saya jengah begini, harap-harap kamu tahu
Tuan, si dungu ini lugu memenjarakan diri dalam rindu.
Pilihan Dungu
Penyair : Aulia Rahma Tambusai
Nyatanya malam ini aku kembali mengulik
Mengupas membalik semua kisah tak sampai milikku
Semua pesan tak terkirim dalam file arsipku
Semua harap tanpa tunggu, semua rindu tanpa temu
Kembali menjadi tamu tiada dijamu
Jika besok mentari tak
kunjung bersinar
Jika angin tiada berdesir mengibarkan
tiap helai rambutmu
Jika langit enggan
membiru, dan hanya menyuguhkan kelabu
Jika gadis itu enggan lagi
memakai pita merah jambu
Aku sedang duduk sambil merutuk
Berkali-kali aku bungkam tertahan mengutuk
Mataku menatap lamat dalam balik jeruji hati
Tidak terbuka namun jelas terlihat
Biar aku tebak, ini cinta bodoh si gadis dungu
Sebenarnya aku ingin
beranjak
Dari kediaman yang hanya
memberi sesak
Namun, entah mengapa di
semua tempat terasa dingin
dan bagian ini yang
memberiku hangat
Si dungu nyaman tak
berdaya, mari bertaruh sampai kapan bertahan
Sekarat Merindu
Penyair : Aulia Rahma Tambusai
Mata mengerjap, kesadaran merayap
Perlahan sebuah senyum tersungging
Gigi putih itu rapi berjejer
Enggan tersadar, kembali terlelap
Sayup terdengar gemercik
air di telaga
Malam ini hujan, lagi-lagi
muara menuai bah
Menyimpul dan memilin
temali rindu
Masih enggankah tubuh merebah
Prihatin melihat dia memaksa
Memaksa temu dalam tawarnya rasa
Memaksa teguh dalam remuknya jiwa
Sayatkan belati memberi
jejak guratan
Sepertinya luka berdarah
lebih baik untuknya
Dalam jeda dan tunggu yang
tanpa tengat
Ku harap tak lebih buruk dari
ini, sekarat merindu
Ibu dan Anak Batunya
Penyair : Aulia Rahma Tambusai
Pada malam nan temaram
Dengan napas tersekat dan tatapan buram
Aku mematung memunggungi ibu
Entahlah, sedari tadi suara wanita paruh baya itu tiada mereda
Aku jenuh setengah muak
Ia berbicara perihal aku
yang berkepala batu
Tiada kebetulan yang
indah,
Layaknya kisah-kisah dalam
novel, kenali kembali hatimu
Ia kesal perihal aku yang terlalu batu
Terkesan dungu namun enggan mengadu
Ibu berhenti, sejenak menarik napas berat
Disusul dengan nada sendu dan tatapan sayu
Aku menyembunyikan seribu
rasa dengan tetap memunggungi ibu
Malu, ragu, namun egoku
tetap membeku
Heningnya suasana tiada
membuatku luluh
Aku bertambah jauh dari
sukma wanita itu
Malam semakin larut, tiba-tiba haluan cerita menjadi samar
Aku kini telah meringkuk dengan tetap memunggungi ibu
Entah bagaimana dengannya
Hingga menjelang pagi, cerita ini ditutup tanpa doa
Penyair : Aulia Rahma Tambusai
Aku kembali atau sejatinya tak pernah pergi
Aku lelah semesta memaksaku berhenti
Untuk sepotong hati, banyak hal bodoh terjadi
Entahlah mungkin kau yang tuli
Bersama rinai hujan ku
menepi
dan; sekarang desir angin menerbangkanku
Pun aku berusaha membebaskanmu
Bersama sesak ikatan terkunci
Mengendap perlahan tanpa bunyi
Jangan biarkan gemericik kembali menahan
Metafisika Dunia
Laksana siang dan malam
Mentari dan rembulan
Tat kala berharap seperti rinai hujan dan pelangi
Aku dan kamu hanya sebatas dua insan yang sama-sama bernafas
Tanpa ditakdirkan menua bersama hingga akhir nafas
0 komentar