2/3 LUSTRUM
Mei 04, 2020
Matahari dan Bulan |
”aku bersumpah
untuk melupakanmu di malam hari, lalu aku
memimpikanmu,
cinta apa ini yang mengujiku?”
Eliza
melihat ke luar jendela kamarnya, ia memperhatikan tangkai bunga yang
bergoyang-goyang dihembus angin, memperhatikan burung-burung gereja yang
mencari makan di halaman rumah, menatap langit biru yang bersahaja, merasakan
sinar matahari yang menghangatkan, menikmati
alunan detak jam dinding yang lebih mendominasi di kamarnya. Angin berdesir
menggoyangkan hijab gadis itu sontak ia terpejam menikmati belaian angin, trett,,,trett,,, ia merasakan ponselnya
bergetar segera ia mengambil benda itu dan memeriksa pesan yang masuk. Seketika
mata gadis itu terbelalak, ia merasakan jantungnya berdegup tak karuan, matanya
mengerjap-erjap seolah tak percaya apa yang baru ia lihat, kini degup
jantungnya lebih dominan dari suara burung, desir angin dan detak jam dinding
di kamarnya.
Klak,,, suara pintu
dibuka seorang gadis yang terlihat lebih muda dari Eliza masuk.
“sudah siap?”
tanyanya sembari memperhatikan koper dan tas yang terletak di sudut kamar,
Eliza terkejut
dengan kehadiran adiknya yang tiba-tiba, buru buru gadis itu memasukkan
ponselnya ke dalam saku baju, “mmm,,, ya, ya sepertinya,” ucapnya gugup,
“oke kita
berangkat 15 menit lagi, aku akan mengantarmu ke stasiun sebaiknya pastikan
benar-benar bahwa tidak ada yang ketinggalan,” gadis itu berbalik menuju pintu
kamar
“Del,” panggil
Eliza, Dellia menoleh ke arah kakaknya ia menaikkan alisnya “ada apa?” segera Eliza menggeleng “tidak
ada” ucapnya cepat.
20
menit sudah berlalu mereka diperjalanan menuju stasiun dengan mengendarai
motor matic kedua gadis itu tiba ditujuan. Dellia menurunkan koper milik Eliza
sedang Eliza sudah turun dari motor sembari menyandang ranselnya, “Apa ada yang
salah?” tanya Dellia melihat gelagat Eliza yang sedari tadi tidak seperti
biasanya.
“Ha,,?”
“Iya kakak,
seperti ada yang sedang dipikirkan,,,” gadis itu memberi jeda “atau
disembunyikan?” tanyanya dengan tatapan penuh curiga,
“hmm,,, iya
disembunyikan, sedari tadi kau itu terlalu ngebut bawa motornya, jadi aku harus
menyembunyikan rasa khawatirku dan degup jantung yang mendominan,” jawab Eliza
mengelak
“hahhh,,,
entahlah aku hanya merasa ada yang mendengarkan saranku,”
Ucapan gadis itu
sontak membuat pipi Eliza memerah buru buru ia berpaling agar Dellia tidak
melihatnya dan menyelamatkan dirinya dari ocehan Dellia yang tentu akan
menggoda jika gadis itu melihat Eliza sedang tersipu malu, “ga tuh,,,” jawabnya
singkat.
“ulu ulu tayang
tayang cini dulu peyuk yang mau pelgi jauhh,,, aaaa adekmu nan imut dan lucu
ini bakal lindu,” Dellia berbicara dengan nada yang dibuat-buat untuk menggoda
Eliza yang tampak mual melihat tingkah random
adiknya.
“udah gih, sana
pulang awas kena tilang ya,”
“ah,,, aku mah
udah safety ga bakal ditilang, situ
tuh yang hatinya udah kena tilang selama bertahun-tahun, hahhaha,” gadis itu
tertawa lepas sembari menarik gas motor melaju meninggalkan Eliza yang sudah
bersiap ingin melepas sepatunya melempar gadis itu.
“apaan kena
tilang,” gumam Eliza kesal
Trett,,,trett,,, ponsel
Eliza berdering, segera ia memeriksa pesan yang masuk. Lalu gadis itu melirik
jam tangannya “tersisa waktu 20 menit lagi, mungkinkah?” gumam gadis itu sambil
memperhatikan jalanan.
Eliza berjongkok di samping koper
birunya, berulang kali ia melihat ke arah layar ponsel untuk memastikan
penampilannya baik-baik saja, tangannya terus menggenggam sebuah amplop putih
yang sudah hampir remuk dalam genggamannya.
“Assalammualaikum
dik,”
Suara tiba tiba
itu sontak membuat Eliza salah tingkah, segera ia berdiri namun tak sedikit pun
ia mengangkat wajahnya, meski sebentar saja untuk memastikan siapa yang ada di hadapannya
pun tidak, Eliza sudah dapat menebak siapa pemilik salam itu ia adalah orang yang
sedari tadi membuat degup jantung Eliza berdetak tak karuan.
“wa,,,” suara
Eliza tersekat di tenggorokan seakan ada sekepal nasi yang menyumbat membuat ia
sulit berbicara, perlahan Eliza menarik napas dalam-dalam “wa,,,wa’alaikumsalam
kak,” ucapnya kemudian
“ya dik ada apa
mau jumpa di sini? Sudah lama sekali sejak kelulusan sekolah, apa ada yang
penting?” pria itu bertanya dengan nada yang lembut namun tetap terasa tegas
dan berkarakter.
“tetap sama,” Eliza bergumam pada dirinya
sendiri tanpa ia sadari segaris senyum terlukis di wajahnya,
“kenapa dik?
Kamu tersenyum?” pria itu menggaruk lehernya yang tidak gatal ia sedikit
bingung dengan tingkah Eliza, “sebenarnya kamu sedikit berubah, saat memasuki
tahun kedua di sekolah, mmm,,, sepertinya, atau hanya kakak saja yang salah
mengira,”
Eliza menelan paksa ludahnya begitu banyak rasa yang bermunculan pada
atmosfer ini, ia merasa senang mendengar pria di hadapannya menyadari akan
dirinya dan juga semakin bingung untuk jujur atau membiarkan langkah besar ini
atau bisa disebut sebuah lompatan paling berani yang ia lakukan berakhir sia
sia saja. Eliza mengangkat kepalanya mendengar pemberitahuan dari speaker stasiun tersisa 5 menit lagi
sebelum keberangkatan, tanpa pikir panjang sekaligus kalut dan mungkin lebih
tepatnya tidak dapat berpikir tenang dilain sisi ia gugup berhadapan dengan
seseorang yang selama ini ia sukai, ia juga harus berangkat 5 menit lagi, lalu
pengakuannya? Gadis itu menatap mantap wajah pria di depannya meski ia harus
mendongak karena tinggi mereka yang terpaut jauh atau mungkin jauh sekali buru
buru ia memberikan sebuah amplop putih yang sekarang selain sedikit remuk juga
terasa sedikit lembab, dengan segera gadis itu berlarian masuk ke dalam stasiun
“aku harap kakak punya waktu untuk membacanya, Assalammualaikum kak,” ucap
gadis itu sambil berlarian mengejar waktu keberangkatan. Yang ditinggal malah
tampak bingung matanya tak berkedip melihat benda tersebut bukan amplop putih
yang tampak remuk dan lembab itu tapi sesuatu yang lain.
Eliza masuk ke dalam kereta dengan tepat waktu, dengan terengah-engah gadis
itu menyeka keringat di dahi menggunakan ujung hijabnya, ia terus memegangi
jantungnya “seakan seperti mimpi semua telah
terlewati, pertemuan, memberi surat, hampir tertinggal kereta, aaaa,,,
ternyata tidak buruk juga,” Eliza tersenyum tipis ia mengambil jeda untuk
menenangkan dirinya, bergegas gadis
itu menuju kursinya belum sempat ia
membuka pintu untuk menuju gerbong 3 dimana kursinya berada tiba tiba saja mata
gadis itu terbelalak seakan tidak percaya ia mencubit tangannya “aww,,,” sontak
ia menjerit “aaa,,,” sambungnya lagi “Baka[1],
aku melupakan koper ku, jangan jangan” sontak Eliza menggigit bibirnya.
Cukup lama gadis itu berdiam di tempatnya ia bingung sekali harus melakukan
apa, “menghubungi dia? Iya jika koperku
bersamanya, atau hubungi saja untuk menanyakan apakah ia melihatnya, tidak
tidak,,, hubungi Dellia, tapi si Dedel itu bakal cerewetin dan terus menggoda
aku, lalu cara mengambilnya? Atau hubungi pihak stasiun untuk menanyakannya?” cukup
lama pertengkaran dan berbagai perkiraan di dalam pikiran gadis itu. Klak pintu antar gerbong terbuka “misi
mbak” ucap suara seorang petugas kereta yang membawa sebuah trolly dorong
berisi makanan dan minuman, “ehh,,, iya mas silahkan,” segera Eliza menepi
memberi jalan, akhirnya gadis itu memutuskan untuk menuju kursinya dan
menenangkan diri sejenak belum sempat ia melangkahkan kaki trett,,,trett ponselnya bergetar ada sebuah panggilan masuk dari
nomor tidak dikenal dengan ragu Eliza mengangkatnya
“Assalammualaikum
dik ini kakak, kakak dapat nomor kamu dari grup sekolahan dulu, o iya
ngomong-ngomong kopermu ketinggalan sekarang ada sama kakak, untuk stasiun
berikutnya berhenti di sana tidak terlalu jauh dari lokasi kakak sekarang kamu
turun di sana ya untuk mengambil kopermu,”
Eliza terpaku
memandang lantai kereta ia bingung harus bagaimana atau menjawab apa, “halo
dik, kamu di sana?”
“ha, i,,, iya
kak,”
“baik di stasiun
berikutnya ya Assalammualaikum,” tanpa sempat Eliza mencerna apa yang baru saja
diucapkan pria itu atau menjawab dua salam yang diberikan pangilan sudah
ditutup.
“Stasiun berikutnya 15 menit lagi,”
gumamnya santai “AAPA?” teriak Eliza ketika menyadari apa yang baru saja
diucapkannya,
“husshhh,,, ini
kereta bukan lapangan jangan teriak-teriak atuh neng, mengganggu pendengaran
yang lain,” ucap seorang ibu yang terlihat ingin menggunakan toilet, Eliza
menyengir malu menyadari tingkah absurdnya
ia mengangguk meminta maaf lalu segera menuju kursinya.
Kereta berhenti di stasiun
berikutnya dengan enggan Eliza melangkahkan kakinya menuju pintu keluar kereta
ia berjalan sangat lambat menghalangi penumpang lain yang ingin turun di
stasiun itu juga, Eliza celingak-celinguk mencari sosok tersebut.
“El,,, di sini”
teriak sebuah suara tampak ia sangat bersemangat, Eliza tersenyum tipis
menyembunyikan rasa malunya akibat kecerobohan yang telah ia perbuat, entah
bagaimana sekarang penilaian pria itu pada dirinya mungkin saja Eliza si gadis absurd yang selalu menunduk dan ceroboh Eliza
menghembuskan napas pasrah ia kesal pada keadaan ini,
“kopermu, lain
kali jangan tinggalkan lagi ya,” ucap pria itu mengingatkan namun kata-kata
pria itu sanggup membuat Eliza tersudut ia malu sekali, “Benar keberangkatan
selanjutnya 2 jam lagi, biar kakak yang pesankan tiketnya,”
“hmm,,, sudah
pesan ka,” ucap Eliza melihatkan akses online
yang telah ia lakukan,
“syukurlah,”
Eliza duduk di kursi stasiun
berjarak sekitar 1 meter pria itu juga duduk di sana. Suasana begitu canggung
tidak ada yang bersuara tiba-tiba hening dan tidak ada dari mereka yang memulai
pembicaraan mereka sibuk dengan pikirannya masing-masing, Eliza terus menunduk
memandang lantai stasiun kakinya bergerak-gerak kecil tidak beraturan ia
canggung dan sangat tidak nyaman dengan atmosfer ini begitu pula makhluk di
sebelahnya. Selama itu Eliza terus berpikir “Mengapa ia masih di sini? Tidak niat kembali pulang? Apa dia ada urusan
lain? Apa suratku sudah dibaca? Ahhh,,, mengapa waktu bergerak lambat?” Eliza
terus menerka-nerka sambil terus melihat ke arah jam tangannya, sementara pria
itu tetap tenang dengan wibawanya yang terjaga, “tidak adil, saya sudah setengah hidup menahan dan berusaha tetap tenang
dia malah begitu menawan dalam diamnya,” Eliza memanyunkan bibirnya kesal
pada kemampuan pengendalian dirinya yang rendah.
Waktu benar-benar lambat berputar,
sudah 70 menit kedua insan itu tetap bertahan pada atmosfer yang asing, tidak
ada satu pun yang berusaha untuk mencairkan.
“hmmm,,,” ucap
mereka serentak secara bersamaan, “eh, maksudnya kakak mau,,,”
“Kamu haus
Eliza? Benar saya beli minum dulu ya,” ucap pria itu memotong Eliza, tanpa
sepatah kata pun Eliza mengangguk. Ia memperhatikan punggung pria itu dari
belakang lalu buru buru menghembuskan napas berat. Pria itu datang dengan
membawa dua botol minuman “ini,” ucapnya sembari menyodorkan sebotol air
mineral ke arah Eliza,
“terima kasih
ka,” ucapnya
“jenuh ya
menunggu,” ucap pria itu tiba-tiba, sontak Eliza menahan dirinya yang sudah
tersedak mendengar ucapan pria itu entah mengapa ia merasa ada maksud lain dari
kalimat tersebut, “menunggu kereta maksudnya,” ucapnya lagi sembari menyengir
ke arah Eliza, dengan terpaksa Eliza melontarkan segaris senyum merespon ucapan
pria itu yang entah ia sedang menunjukkan skill humornya atau berusaha
mencairkan suasana, entah lah.
17 menit sebelum kereta tiba, jika
ini Eliza yang sedang menunggu sendirian tentu sudah sejak tadi ia terlelap
gadis itu memang mudah tidur bahkan tidak mengenal tempat ketika ia bosan maka
di sana ia akan tidur, tapi kalau seperti ini keadaannya mana mungkin matanya
terpejam bahkan sedari tadi ia sedang berusaha menyembunyikan gugup dan
menyamarkan suara degup jantungnya.
“sudah lama
sekali ya tidak bertemu,” ucap pria itu membuka pembicaraan, yang mengapa harus
di detik-detik terakhir,
“3,5 tahun,”
jawab Eliza
“apa kamu ingin
menjelaskan sesuatu Eliza, perihal ini?” pria itu menunjukkan amplop putih yang
diberikan Eliza tadi,
Eliza diam ia
tidak tahu harus bagaimana, yang dipikirannya sekarang ia benar-benar berharap
kereta segera tiba dan menyelamatkan dirinya, yah sama saja melarikan diri atau
bersembunyi seperti Eliza selama 2/3 lustrum.
“Remaja dan Cinta,,,” ucap pria itu kemudian
Eliza melihat ke
arah pria itu, ia menatap jauh ke depan tidak sedikit pun berpaling ke arah
Eliza seakan ia sedang berbicara padi dirinya sendiri “Metafisika dunia,” jawab
Eliza ia menarik napas tenang menikmati angin yang berhembus di antar ruang
mereka berdua, mencoba mengendalikan dirinya “saatnya menjadi Eliza yang jauh dari 2/3 lustrum lalu,” batinnya,
“sekuat apa pun
hati mu bertahan pada satu nama, tentu kau akan tunduk dengan takdir juga,”
tambah Eliza lagi,
“Seakan Allah
tidak memperhatikan, menjauhlah dari keharoman,” balas pria itu,
“Bersabarlah
menuju Kehalalan,” sambung Eliza,
Suasana
hening,,, tidak ada lagi sambung-menyambung kalimat dimana hanya mereka yang
tahu maksud sebenarnya,
“kau
mengingatnya? Coretan di Insta story Ig saya,”
“hmm,,,” Eliza
tersenyum miris merutuki dirinya sendiri, gadis itu berdiri dari kursinya ia
menghampiri pria tersebut dan menatap kedua bola mata itu lamat-lamat,
tangannya meraih koper dan bersiap untuk keberangkatan, “terima kasih kak,”
pria itu menatap Eliza ia mengangguk kecil.
“Terima kasih
sudah membuat saya jatuh, jatuh hati pada kakak selama dan sedalam ini, terima
kasih sudah membuat saya setengah hidup memikirkan cara untuk mengikhlaskan
perasaan ini, terima kasih selalu membuat saya begitu aneh saat bertemu dengan
kakak, karena saya sedang menyembunyikan sesuatu yang seharunya tidak pernah
kakak tahu. Hhh,,, perihal ini kakak tidak salah,” Eliza mengambil jeda untuk mengendalikan
detak jantungnya.
“Tidaklah
mungkin bagi matahari mendapat bulan. Dan malam pun tidak dapat mendahului
siang. Dan masing-masing beredar pada garis edarnya ,(Q.S. Yasin 40)” Eliza
tersenyum ke arah pria tersebut sembari menahan bulir hangat yang sudah memenuhi pelupuk matanya sedari tadi ia gugup menahan bah yang bersiap akan
tumpah tak tertahan bulir itu jatuh dan mengalir di kedua pipi gadis itu,
segera ia menyeka air mata dengan tangannya bersamaan dengan itu kereta tiba. Eliza
menarik napas dalam tetap dalam senyum ia mengangguk berpamitan kepada pria di
depannya tanpa bergeming pria itu tetap dalam tatapannya melihat Eliza (entah
apa yang ada dalam pikirannya? apa yang ia rasakan? atau mengapa dia hanya
diam?)
“Assalammualaikum
kak, terima kasih,” ucap Eliza ia masuk ke dalam kereta, sesaat setelah Eliza
masuk kereta mulai bergerak menjauh meninggalkan pria itu yang tetap dalam
posisinya, “Wa’alaikumsalam” ucapnya pelan.
Eliza menangis di dalam kereta sudah
lelah ia mencoba untuk menahan air matanya namun tetap saja hujan turun dari
pelupuknya membuat genangan di wajah gadis itu, ia benar benar bingung dengan
apa yang ia rasakan sesak, sesak sekali rasanya, namun ia juga merasa lega
telah mengakui perasaanya selama ini, sedih, haru, bingung, campur aduk, ia
bingung dengan atmosfer ini, ia bingung dengan semuanya dengan apa yang telah
terjadi.
Eliza
Affasya
Baca Surat Eliza ; Coretan untuk
Seseorang di Masa Lalu, Merancang Temu di Masa Mendatang
0 komentar